Sunday, March 1, 2009

The Praying Hands


Dahulu kala di abad 15, ada sebuah keluarga dengan delapan belas orang yang tinggal di sebuah desa kecil dekat Nuremberg. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, sang ayah sebagai kepala rumah tangga bekerja sebagai tukang emas. Bekerja hampir selama 18 jam setiap harinya, baik bekerja di pasar atau pekerjaan lain yang bisa dia temukan di sekitarnya. 

Meskipun keadaan mereka terlihat tak punya harapan, dua orang anak tertua Albrecht Durer mempunyai sebuah impian.Keduanya ingin mewujudkan bakat mereka di dunia melukis,tetapi mereka sepenuhnya tahu bahwa ayah mereka tidak akan mampu membiayai bahkan mngirimkan salah seorang dari mereka ke Nuremberg untuk belajar di Akademi. 

Setelah melalui pembicaraan yang panjang di ranjang mereka yang sempit di suatu malam, dua orang anak lelaki itu akhirnya melakukan suatu perjanjian. Mereka akan melemparkan sebuah koin. Yang kalah akan pergi ke penambangan terdekat dan dengan pendapatannya membiayai saudaranya yang kuliah di akademi. Kemudian, ketika saudara yang memenangkan undian selesai menyelesaikan sutdinya, dalam empat tahun, dia membantu saudaranya yang lain untuk kuliah di akademi, selain dari hasil penjualan lukisannya jika perlu dengan bekerja di pertambangan,

Mereka melempar koin ada Minggu pagi setelah dari gereja. Albrecht Durer memenangkan undian dan pergi ke Nuremberg.

Albert pergi ke pertambangan yang berbahaya dan selama empat tahun berikutnya membiayai saudaranya yang bekerja di akademi serasa pengalaman yang sangat cepat. Goresan-goresan Albrechts, potongan-potongan kayu dan cat minyaknya jauh lebih bagus dari kebanyakan karya profesornya, dan pada saat dia lulus, dia mulai menerima upah sebagai pembayaran atas tugas-tugas pekerjaannya.

Ketika seniman muda ini kembali ke desanya, keluarga Durer melangsungkkan makan malam istimewa di halaman mereka untuk merayakan kejayaan kepulangan Albrecht. Setelah makan malam yang lama dan mengesankan, diiringi dengan musik dan tawa, Albrecht berdiri dari tempat terhormatnya di ujung meja untuk minum bersulang buat saudara tercintanya yang selama tahun-tahun pengorbanannya yang membuat Albrecht memenuhi obsesinya. Kata penutupnya, “Dan sekarang, Albert, saudaraku yang terkasih, sekarang giliranmu. Sekarang kau bisa pergi ke Nuremberg untuk mewujudkan impianmu, dan aku akan menjagamu.”
Semua kepala berputar dengan penuh harap ke ujung meja tempat Albert duduk, air mata berderaidi wajah pucatnya, mengguncang wajahnya ketika dia tersedu dan berulang kali berkata tidak..tidak..”

Akhirnya, Albert berdiri dan mengusap air mata di pipinya. Dia melihat sekilas ke meja yang panjang pada wajah yang dia cintai, dengan mengenggam tangan kanannya dekat dengan pipi kanannya, dia berkata perlahan, “Tidak saudaraku, Aku tak dapat pergi ke Nuremberg. Itu sudah terlalu terlambat untukku. Lihat..lihat apa yang telah dilakukan selama empat tahun di pertambangan pada tanganku! Tulang-tulang di setiap jari-jari sudah berderak, dan sekarang aku menderita arthritis yang parah pada tangan kananku, hingga aku bahkan tak dapat memegang gelas untuk bersulang denganmu, lebih lagi untuk membuat garis di atas perkamen atau kanvas dengan pena atau kuas. Tidak saudaraku...untukku ini sudah sangat terlambat.”

Lebih dari 450 tahun berlaru, karya-karya Albrecht Durer banyak dijumpai di banyak museum di seluruh dunia, tetapi yang sangat terkenal adalah lukisan sebuah tangan berdoa. Lukisan ini merupakan gambar dari tangan saudaranya yang telah berkorban bagi dia, Albrecht menamai lukisan ini “Hands” tetapi belakangan terkenal dengan sebutan “The Praying Hands” 

Lukisan ini mengingatkan pada kita bahwa kita tidak bisa hidup sendiri, keteguhan hati Albert untuk berjuang bagi keberhasilan saudaranya bisa menjadi renungan bagi kita, bahwa segala keberhasilan pasti ada pengorbanan dan cinta. Hendaklah kita diam sebentar, melihat ke sekitar,mengucap terima kasih dan menghormati kepada seseorang yang telah membantu kita.


No comments: